Selasa, 26 September 2017

Hufffffttttt...walau terkesan berliku dan penuh perjuangan, akhirnya tahap SKD bisa dilalui juga.

Setelah dinyatakan lolos berkas oleh mahkamah agung untuk formasi calon hakim peradilan umum, tes kompetensi dasarpun menanti. Was was? jelas. Karena umur saya sudah lumayan jadi berharap banget bisa diterima tahun ini.
Walau belum pernah kerja di bidang yang berhubungan dengan hukum, saya memberanikan diri untuk mendaftar calon hakim. Lagian kuotanya lumayan banyak. Banyak banget malah.

Untuk ikut tes, saya harus naik bus dari kampung halaman selama 9 jam ke Kota Makassar. Lagi apes. Hampir sepanjang jalan muntah karena bisnya yang katanya bagus bauh minyak tanah plus supir yang ugal-ugalan. Parah. Sampai-sampai kalau minum air belum diteguk semenit sudah keluar lagi. Mana sendirian pula.

Malamnya sampai di Makassar. Biar dekat dengan lokasi ujian, numpang kostan teman deh. Untung teman ai baik hati mau kerokin. Tapi belum ampuh juga. Jadi kami tengah malam ke tukang urut. Gelisah juga membayangkan besok mau ujian. Akhirnya enakan juga badan saya dan malam itu bisa pulas selama empat jam. Jam 5 pagi harus siap-siap. Sarapan, mandi, setrika pakaian.

Daaaan, sampailah aku di lokasi ujian di KANREG BKN Makasssar dengan bantuan Mr. Grab. Kita disuruh bersiap sejam sebelum ujian. Sebelum ujian kita harus absen dulu. Tandatangan, lalu tangannya dikasih cap mahkamah agung. Kebetulan aku di sesi 16. Jumlah pesertanya 95.

Sebelum masuk kelas harus melalui berlapis-lapis pemeriksaan dulu. Ini parah. Sampai kancing baju dibuka. Rambut diubek-ubek kayak nyari kutu. Pokoknya ketat bangetlah.

Barang di simpan di loker yang sudah dikasih nomor sesuai nomor urut kita. Entah kenapa loker ku sesuai dengan nomor keberuntunganku, 27. Senang banget dan mejanyapun ada nomernya 27.
Lalu, setelah dikasih petunjuk mulailah peserta mengerjakan soal.
Aku langsung ke TKP dulu sebelum TIU dan TWK

Nah, TKP hanya butuh waktu 10 menit untuk dikerjakan.
Lumayan kaget pas ngerjain TWK. Semua yang aku pelajari selama seminggu belakangan tidak keluar. Pertanyaannya sih seputar 4 pilar kebangsaan. Tapi kebanyakan pengamalan PAncasila, dan Ide2 yang terkandung dalam UUD 45. Otonomi, kewarganegaraan, sejarah, itu dikit banget.

TIU, kebanyakan tentang logika dan pemahaman bacaan. Soal logika terkesan berbelit-belit tapi sebenarnya gampang kalau kita teliti. Tipsnya baca pertanyaan dulu baru soal. Kalo baca soal dulu baru pertanyaan, bakal buang waktu. Begitupun analisa bacaan. Bacaannya panjang-panjang banget, tapi langsung aja ke pertanyaan trus cri deh jawabannya di bacaan. Selain itu belajar deret. Catatan : Deret aritmetika tidak ada.

Aku hitung mundur 57 detik terakhir hingga hasilnya muncul sendiri. Puji Tuhan, aku lulus alias memenuhi.

Catatan : Biar hasilnya maksimal, sebaiknya jaga kesehatan sebelum tes. Jangan seperti saya.
- Belajar penting tapi yang penting tenang saat mengerjakan soal. Percaya diri. Niscaya daya analisa akan maksimal juga.
- Jangan gelisah kalau kelas sudah kosong padahal waktu masih ada. Manfaatkan waktu hingga detik-detik terakhir.
- Jangan kawatir akan hasil akhir. Berserah dan percaya pada penyertaan tuhan.

Dari 95 peserta, hanya 5 yang dinyatakan memenuhi. Semuanya alumnus fakultas hukum unhas.

Mohon doanya agar nilai saya diperhitungkan untuk ikut SKB (Walau memenuhi PG tapi yang diambil hanya 3x jumlah formasi. JAdi yang memenuhi PG belum tentu ikut SKB)

Dan semoga yang mendaftar CPNS dilancarkan tesnya. Kalau belum beruntung pasti ada yang lebih bagus. Tetap semangat. Jangan lupa ora et la bora. Belajar dan berdoa.

Tuhan memberkati

Rabu, 10 Mei 2017

Pemateraian Kemudian

Sebelum saya membahas lebih jauh tentang pemateraian kemudian, saya ingin menjelaskan apakah kegunaan materai dalam sebuah perjanjian? Sebenarnya perjanjian baik lisan maupun tulisan adalah sah. Perjanjian mengikat dua pihak dalam sebuah kesepakatan yang disusun baik lisan maupun tulisan. Selama perjanjian tersebut dijalani oleh para pihak dengan baik maka tidak akan timbul masalah. Pertanyaannya bagaimana jika di kemudian hari terjadi wan prestasi, tipu daya, atau penggelapan, atau pelanggaran dalam perjanjian tersbut? Jika dibawah ke pengadilan tentunya hakim tidak akan menerima bukti perjanjian yang tidak bermaterai.Dari situs sribulancer saya mendapat klien pertama saya yang menanyakan hal tersebut. Pak CAG mengadakan perjanjian bisnis dengan seseorang dalam bidang kuliner. Mereka menyusun perjanjian kerja sama yang memenuhi syarat suatu perjanjian kedua belah pihak memiliki kecakapan hukum, ada kesepakatan yang dibuat, ada obyek atau barang yang diperdagangkan, kausa yang diperbolehkan tidak bertentangan dengan hukum (sumber : Pasal 1320 KUHPer) Namun sayangnya perjanjian tersebut tidak dibubuhi materai. Lalu bagaimana solusinya? UU No. 13 Tahun 1985 mengatur tentang pemateraian kemudian.Ps. 1 berbunyi : Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh pejabat pos atas permintaan pemegang dokumen yang bea meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya. Jadi cukup datangi kantor pos, bubuhkan materai di perjanjian tersebut lalu dicap oleh petugas pos maka perjanjian tersebut telah memiliki keuatan hukum. SimpleLalu bagaimana dengan biayanya? Biayanya adalah 200% dari bea materai. Baik perjanjian yang dibuat di Indonesia maupun yang dibuat di luar negeri untuk digunakan di Indonesia. 



Sabtu, 27 Februari 2016

Menggenggam Matahari

Cerita ini hanya fiktif belaka. Apalagi penulis dan teman-temannya belum pernah ke Belitong. Namun ada beberapa kejadian dalam cerita ini yang akan membuat teman-teman penulis mengalami De Ja Vu berat. Karena sesungguhnya cerita ini adalah hasil sinergi dari sejarah dan isapan jempol _ salam risuma lolok
Dan setelah kami merasa tidak terlalu lelah Nat berpaling padaku. Kami belum pernah bertemu antara tahun 2013 dan 2015 tapi bukan berarti dia tidak tahu siatuasiku. Aku menceritakan sedikit dan kurasa dia mencari tahu kesana-kemari secara detail kehidupanku. “Bagaimana dengan…” pertanyaannya menggantung di langit-langit kamar. Nat bingung apa yang harus ditanyakan padaku. Tentang tempat baruku? Tentang keluargaku? Tentang hobiku dan mimpiku menerbitkan setidaknya satu buku sebelum aku berumur 30 tahun? Atau tentang seseorang yang dulu kupuja dan telah menghilang tanpa jejak dan belum sempat kukenalkan padanya? Aku merasakan kebingungan yang dialami Nat. “Aku masih capek,” kataku sambil beringsut dari tempat tidur lalu memandang keluar jendela. Dengan mengatakan aku capek Nat akan mengerti kalau aku tidak siap ditanya sesuatu yang mengundang rasa ibah. Aku berbalik ke arahnya memperlihatkan keceriaan yang kubuat-buat. “Tapi sunset Belitong adalah segalanya. Sore ini juga,kan?” “Yes, Darlaa. Bangunkan sleepy head sekarang juga sebelum dia melukis kastil di bantalnya!” Aku keluar kamar lalu menggebuk pintu kamar Issy dengan keras. Dia membuka pintu dengan mimik dongkol. Yah, aku sadar seharusnya tak sekeras itu aku menggebuk pintunya. Pertanyaan Nat yang belum kelar itu membuatku emosi. Situasiku berantakan dua tahun belakangan ini dan aku sudah membungkusnya rapi-rapi. Tak untuk dikorek-korek lagi. Suatu saat aku akan membakar hangus tanpa jejak. Issy mengucek mata memperlihatkan muka lugunya. Dia benar-benar mirip Quentine dalam film Paper Town makanya aku memanggilnya Quen. Pria berusia 26 tahun yang baru sekali berpacaran dan akan memasuki tahun ketiga masa vakum, tanpa seorang wanita. Selain didiagnosis mengalami masa puber yang sangat telat Quentine juga sangat mencintai pekerjaannya sebagai layouter di sebuah tabloid remaja. Dengar-dengar pacarnya yang dulu terlalu posesif dan cukup membuatnya trauma dengan mahluk yang bernama wanita. “Ayolah…siapa tahu kita bisa menemukan Margo di tanah Belitong ini!” bujukku. Dia mencibir. Margo adalah cewek yang dipuja Quentine dalam Paper Town. Quentine palsu bersandar di pintu. Dugaanku dia masih ngantuk dan tak ingin pelesiran sore ini. “Ya ampun! Bocah ini masih jet laq!” Seru Nat dari balik punggungku. Aku sama sekali tidak kepikiran kalau dia jet laq. Quentine memandangku seolah berkata betapa bodoh dan tidak pekahnya aku. Muka Nat sudah terpoles sempurna di setiap sendi wajahnya padahal aku baru meninggalkannya sejenak. “Berkemaslah, akan kuurus Si Quen. Quen? Kamu bakalan baik-baik saja. Pokoknya kita akan melihat sunset dari balik bebatuan, okay?” Katanya sangat yakin. Suaranya saja cukup untuk menyemburkan energi positif dan akan membuat Si Quentine baikan. Minyak angin atau pil yang akan diberikannya nanti hanya pelengkap saja. Aku tidak terbiasa dengan bahan rayon yang begitu tipis dan terkulai di badanku. Aku takut kalau bahan ini tiba-tiba robek dan semuanya akan jadi kacau. Namun Nat meyakinkanku kalau semuanya akan baik-baik saja. “Berprasangka baiklah pada gaun ini ini!” pesannya. Masalahnya gaun ini terlalu pendek buatku dan apa jadinya kalau dia melayang tertiup angin pantai. Aku mengigit bibir bawahku saat Nat masuk kamar sambil membawa kabar kalau Quentine sudah siap. Secepat itukah? Nat bisa membaca kekuatiranku. Bahwa aku dan gaun ini tidak akan pernah memiliki hubungan yang baik. Sebelum aku mengeluh Nat memberi usul. “Oke! Ganti dengan jampsuit setelah itu kita pergi.” Tapi sayangnya jampsuit tosca itu masih berbahan rayon. Kami mencari bidang datar diatas bebatuanmenunggu sunset datang. Samar kudengar Quentine dan Nat membicarakan museum Andrea Hirata. “Kita harus membawah Lea ke sana.” Suara Nat terdengar jelas saat lagu “Roar” Katty Perri selesai. Aku melepas headset lalu tersenyum penuh terima kasih. “Kamu dengar yah?” tanya Nat. aku mengangguk. Nat mengangkat bahu, agak resah dengan sikap diamku. Jika bisa dibahasakan dengan mimik buat apa mengeluarkan kata-kata. Itulah karakterku. Sepasang bule melintas di pesisir sambil berciuman mesra. Hatiku serasa tercabik-cabik. Adegan itu secara tidak langsung menggiringku pada satu masa yang indah, dulunya. Si gila urusan Nat memandangku dengan tatapan ibah yang aku benci. Ya Tuhan, mengapa Engkau menakdirkanku bersahabat dengan orang yang terlalu pintar dalam segala hal termasuk dalam hal membaca pikiran? Dia memasang sunglasses meraih keranjang piknik dan meminta Quentine memotretnya dengan kamera DSLR. “Sayang, kamu tidak punya inisiatif untuk berfoto denganku? Belum tentu tahun depan kita bisa berkumpul lagi.” Aku merangkak ke sampingnya lalu berpose dengan manis. Hasilnya mengherankan. Aku dan Nat tampak sama. Tarikan senyum dan binar matanya. Tak dapat dibedakan mana yang tertutup dan mana yang bawel. Sambil mengunyah roti bakar Nat bercerita kalau dia punya musuh bebuyutan di kantor. Karirnya menanjak dan membuat musuh bebuyutannya semakin iri. Quentine tertawa lirih,“Dari zaman SMA aku tahu kamu tidak suka dikalahkan, Nat.” Nat kelihatan tersanjung dan jumawah. Berbeda denganku yang kikuk saat dipuji Nat malah menjadikan pujian sebagai makanan jiwanya. Lalu dia bercerita tentang pacarnya si penyanyi café. Wanita karir, si koleris sejati pacaran dengan penyanyi café? Hampir-hampir tidak masuk akal. “Musuh bebuyutanku itu selalu menjadikannya bahan cibiran. Katanya aku tak cocoklah dengan dia, katanya dia hanya memanfaatkan uangku saja. Masih mendinglah aku punya pacar. Daripada dia? Duda paling bulukpun tak sudih meliriknya…” Bahasanya sungguh hiperbolis dan ironis. “Nat. Disini ada Lea. Kamu tidak menjaga perasaannya?” Quentine palsu terkikik. Aku memang tak punya pacar tapi ucapan Quentine sama sekali tidak melukaiku. Aku meninju lengannya sambil berkata, “Memangnya kamu punya seseorang?” “Tidak. Hanya Nat dan dengan pacar brokolinya.” Quentine tersenyum jahil pada Nat. “Waw. Apa cat rambut si penyanyi café berwarna hijau?” ejekku. Nat menggerutu. “Kalian sama saja dengan Mak Lampir musuhh bebuyutanku itu. Lalu kalian bagaimana?” Quentine berdehem menjadi nomor urut kedua yang ingin membagi ceritanya. Kurasa dia tahu aku ingin menjadi yang terakhir dari sesi ini. Nat melirik Horizon khawatir kalau matahari sudah membenam setengah. “Well. We all over 25…dan rasa-rasanya aku sudah mencapai pencapaian terbaikku.” “Apa kau juga punya saingan seperti Nat?” “Aku tidak pernah merasa punya saingan. Hanya saja aku sering dianggap penyaing. Masa bodohlah. Yang penting aku menekuni dan mencintai pekerjaanku. Fokusku bukan ke pencapaian karir sih. Lebih ke kepuasan batin karena bekerja dengan tuntas dan melakukan yang bisa kulakukan. Mengerahkan semua daya kreatif yang aku punya.” “Waw! Lalu pencapaian terbaikmu apa Quen?” “Bonus dari semuanya yah tahun ini aku sudah punya rumah dan kendaraan. Sederhana sih. Bukan BMW atau rumah bergaya mediteran. Yang penting aku bisalah menyenangkan diriku sendiri.” Demi Tuhan aku iri pada Quentine. Aku sedikit lebih tua darinya namun aku belum memiliki apa-apa yang bisa kubanggakan. Ini semua salahku. Aku terlalu manja. Aku terlalu bergantung pada orang-orang di sekitarku dengan harapan suatu saat ada seseorang yang akan menghabiskan sisa umurnya denganku dan membahagiakanku. Aku lengah…sungguh. “Berkencanlah dengan seorang gadis. Sering-sering mengajak dia menginap di rumahmu agar adik kecilmu berfungsih dengan maksimal!” “Dia selalu dan akan selalu berfungsih maksimal, Nat!” Jawab Quentine. Aku terbahak mendengar mereka. “Kiat apa yang kamu lakukan untuk menjaga fungsihnya?” tanyaku. Mereka saling memberi selamat untuk merayakan dewasanya Lea. Aku bukannya tidak mengerti apa-apa pada hal-hal semacam ini karena aku membaca Serat Centini, hanya saja selama ini aku sok suci secara ektrim. “Dan kita akan mendengarkan cerita Lea. Apa pencapaian tersebesarmu, Darl?” “Aku?” aku bingung. “Pen-ca-pai-an?” aku mengeja kata berimbuhan itu perlahan. “Pencapaian terbesarku selama ini adalah….” aku bangkit untuk mendramatsir suasana dan mengarahkan tinju ke langit Belitong, memandang laut yang luas dengan derai-derainya. “Adalah berhasil pulih dari cadel errrrrrrrrrrrrrrrrrr, kan? Kan?” Keduanya menggeleng tak habis pikir. “Tidak lucu!” “Kamu pikir kami belum cukup penasaran?” Aku menghembuskan napas panjang lalu berkata sebaiknya kami beranjak dari batu ini karena matahari akan tenggelam. Sebentar lagi. Tepian spot yang tepat untuk mengambil gambar. “Tidak!” kata Nat. Mataku memanas. “Kurasa kalian tahu kalau ceritaku tak akan sebagus cerita kalian. Kenapa kalian bersikeras aku menceritakan semuanya ke kalian?” Mereka termenung. Lalu dengan hati-hati Nat berkata, “Baiklah. Tapi pikirkan jika suatu saat tak ada siapapun yang menanyakan dirimu, Lea. Sedih rasanya kalau kamu harus curhat ke psikiater dan membayar mahal.” “Nat!” Quentine bernada protes. Nat mengatupkan bibirnya. Dengan lembut dan sangat baik Quenitine memintaku duduk. “Apapun yang terjadi aku dan Nat tetap akan menjadi fans setiamu. Kami membicarakan apapun yang kamu tulis di kompasiana dan blogmu. Semua artikelmu keren. Aku merasa mereka tak pantas memintamu meniti dari bawah untuk menjadi seorang editor. Dalam hal literasi kamu lebih baik dari mereka yang berpengalaman.” Bahuku terguncang. Sialan! Quentine berhasil membuatku menangis. Quentine dan Nat tahu penolakan itu. Penolakan setelah melalui serangkaian tes. “Mereka hanya merasa terancam karena kehadiranmu. Percayalah dengan berjuang sendiri kamu bisa menerbitkan bukumu.” Nat memelukku dan mengulangi hal yang senada yang diucapkan Quentine. Cuma caranya lebih hiperbolis. “Aku adalah penggemar fanatikmu.” “Dan….” Quentine menyambung,”jangan pernah menyambangi penerbit amatiran itu lagi. Percayalah kamu bisa bekerjasama dengan penerbit sekelas Aurora! Bukan sebagai editor tapi penulis. Percayalah…” “Aku percaya Quentine! Ya ampun, selama ini aku pikir kalian tidak tahu apa-apa. Ternyata kalian…” suaraku tersendat, “memperhatikanku dari jauh…” “Kami kan fans fanatikmu, Darl.” Nat mengulangi. “Dan ya sudah…tanpa harus bercerita panjang lebar kalian sudah bisa mereka- reka situasiku kan?” Quentine mulai memotret sunset. “Yah!” jawabnya sambil membidik gambar. “Lea, kesini. Agak menyamping…letakkan telapak kirimu di bawah, dan…yeph yang kanan diatas. Siap yah satu…dua…tiga!” Mereka melihat hasilnya sambil tersenyum. Nat menedekat sambil membawa kamera, “Lihat deh….kamu menggenggam matahari!”

Selasa, 12 Januari 2016

Melihat ratingnya yang bagus dan komentar yang nyaris tanpa kritik di Goodreads maka tanpa pikir panjang saya membeli titik nol di awal Januari 2016. Memoar perjalanan Agustinus Wibowo ini membuat saya menggeleng-gelengkan kepala. Seorang Mahasiswa jurusan universitas ternama di Negeri Tiongkok yang ketika lulus mendapat tawaran S2 ke Amerika dan justru menampik tawaran itu dan lebih memilih pelesiran ke tempat-tempat tak biasa. Medan konflik....zona merah....dan terlarang. Orangtua mana yang tak kecewa menerima kenyataan bahwa Agustinus kembali ke Surabaya dengan tidak membawa apa-apa selain cerita perjalanannya selama sepuluh tahun yang dia bacakan di samping ranjang ibunya yang meregang nyawa karena digerogoti kanker. Seolah menjadi dongeng pengantar tidur panjang Sang Ibu. Adik mana yang tak kesal melihat Si Abang membiarkan dirinya sendirian mengurus kedua orangtuanya yang sakit dan rumah yang disita bank untuk melunasi biaya pengobatan. Menurut Si Adik, Si Abang sudah bersenang-senang selama sepuluh tahun. Namun menurut si Abang menjadi pengembara sangatlah pelik. Dia harus berhadapan dengan kejamnya alam, polisi hingga taliban, dan melebur menjadi relawan gempa khasmir. Dia juga sering hidup dengan mie instan selama berhari-hari. Menyamarkan nama dan ras demi sebuah penerimaan. Diculik dan mengalami pelecehan seksual. Apa yang menyenangkan dengan semua itu? Namun satu hal....dia telah puas dengan pengalamannya itu. Menjadi Backpacker bukan hanya sekedar hobby bagi Agustinus namun pilihan hidup. Dia tak punya pekerjaan, investasi, atau asuransi. Sepuluh tahun hidupnya sungguh-sungguh bergantung pada nasib baik. Di jalanan Agustinus dan temannya Nona Lam Li kenyang akan pengalaman langka yang unik yang jarang dialami oleh orang lain. Dari daratan Tiongkok menuju Nepal, Himalaya, Tibet, Everest, Shangrila, Khatmandu, India, Pakistan, Afghanistan, Kirghistan dan negara-negara berakhiran Tan lainnya. Agustinus berdara Tionghoa. Namun identitas Indonesianya membuatnya diterima dimana-mana di Asia Tengah. Agustinus mengalami harmoni dengan para penduduk negara -Tan yang justru dihindari sehingga kadang-kadang dia merasa lebih disambut di negara-negara berkahiran Tan itu dibanding negara asalnya. Saat merambah bagian terkumuh India cerita Agustinus membuat saya bergidik. Singkatnya India tak seelok Bollywood dengan sosok-sosok perlentenya yang doyan tinggal di bangunan mewah ala aristokrat. Dan Nepal yang sarat dengan kata suci itu ternyata dipenuhi biksu-biksu mata duitan yang anti dengan pendatang asing. Namun Kashmir dan kesedihan yang mengguncangnya membuat saya jatuh cinta. Mengenai harmoni dalam duka serta kebersamaan yang paling paripurna dalam ketiadaan. Afghanistan ternyata menyisahkan harmoni seperti cerita Khaled Hosaini tentang Kabhul sebelum diguncang Soviet tahun 70-an. Agustinus dan pengembaraan ala Marcopolonya telah menyuguhkan cerita dari dalam labirin. Bukan cerita yang kita lihat dari layar kaca atau yang kita pandang dari ketinggian sekian ribu kaki. Ini cerita nyata dari musafir yang telah melewati labirin dan memakan asam-pahit yang ditemuinya di jalan. Sungguh sebuah memoar perjalanan yang menegangkan sekaligus melipur lara. Saat membacanya entah mengapa saya sering melirik dan mengusap titik hitam yang ada di jempol kaki saya. Waktu kecil Mama saya sering bilang jika besar nanti kamu akan pergi jauh dan melanglang buana kemana-mana. Semoga saja. Namun saya merasa terkalahkan. Agustinus lebih muda tiga tahun dari saya saat melakukan perjalanan pertamanya. Akankah saya punya waktu lagi untuk menjalani hal-hal yang demikian. Tak hanya waktu tapi juga keberanian. Tapi setidaknya petualangan-petualangan dalam buku ini menggugah saya untuk bertualang. Walau nantinya tak sespektakuler prestasi Agustinus Wibowo.

Kamis, 31 Desember 2015

Dilema Mau Jadi Advokat

Menjadi seorang advokat adalah impian orangtua saya. Namun saya terus-terus mengulur-ulur dengan menghabiskan waktu menjadi guru bahasa inggris padahal mereka sudah menyiapkan dana untuk PKPA saya. akhirnya ketika orngtua saya mengalami kesulitan keuangan mereka mengizinkan saya merantau dan akhirnya sekarang saya menjadi seorang cs di sebuah credit union di kalimantan. Rugi donk kuliah hukum selama 4 tahun namun tidak bekerja di bidang yang connected dengan jurusan. terserah deh. yang penting saya masih bisa mencerocos tentang hukum termasuk profesi hukum. Nah, mengapa saya belum juga tertarik menjadi advokat? coy....yang bikin galau tuh wadah yang memproduksi advokat-advokat di indonesia nih. KAI dan Peradi. Dua lembaga ini saling mengklaim sebagai satu-satunya wadah yang bisa mengadakan pelatihan dan ujian advokat. belum lagi, sekitar tahun 2010-an muncul wacana untuk membuat satu lembaga bernama FAI (federasi advokat indonesia). Tujuannya sih ingin menyatukan KAI dan Peradi (dua lembaga yang sama-sama diakui MA) yang sering berseteru. tapi saya pribadi kawatir, jika FAI benar-benar terbentuk maka organisasi advokat akan semakin sporadis yang ujung-ujungnya semakin membingungkan para calon advokat di negeri tercinta ini. Lalu muncul pula wacana di suatu lokakarya untuk membuat program magister advokat. nantinya lulusan hukum yang kuliah di program tersebut akan memperoleh gelar magister advokat. kelebihannya, selain menadapat gelar, calon advokat tidak perlu magang lagi di kantor advokat selama dua tahun. Nah, sama dengan magister kenotariatan kali yah. yang kuliah selama dua tahun lalu dilantik oleh ikantan notais indonesia (INI). Namun menurut kemenristek hal tersebut salah kaprah. Advokat kan profesi sedang magister adalah akademik. magister kenotariatan juga sudah dinilai keluar dari jalur. yang ada hanyalah magister hukum. kecuali jika Peradi atau adik bungsunya peradi ( KAI) mau menambah jam kuliah magister untuk para calon advokat dan nantinya akan langsung dilantik oleh Peradi atau organisasi satunya. Namun yang bikin galau lagi....dari hasil riset, magister kenotariatan dinilai tidak berhasil. mengapa? karena mereka tidak dibimbing oleh lembaga pengujinya alias ikatan notaris indonesia. Magister kenotariatan hanya membahas teori dan mebuat makalah namun ujung-ujungnya membuat aktapun mereka agak kesulitan. berbeda dengan calon-calon advokat yang langsung turun didampingi advokat pendamping untuk menyelesaikan perkara-perkara klien.

Sabtu, 13 Agustus 2011

My Silly Confession

1. What is the silliest thing you have ever done?

Urinating bottle on the bus, because i sat at last row and i know i couldnt stop a bus in the forest...

2. Have you ever kissed?

Of course

3. What is your biggest fear?

death, before having a name. 

4. Who is the enemy you cant live without?


Mom

5. How do you see yourself in 2019?


Rent a house and drive a car. holding baby in my arm 

6. Do you think you current relationship will find out a really good result?

I hope so

7. Do you want to have kids?

i do, one is enough

8. One word to your fifth brother.abnoxious


9. Etc class? 


The most outstanding class ever

10. Romantic novel


oh damn! i love it....

11. Where is your fav place?My house and its little barbeque party in the afternoon


12. What is your biggest dream?

Publish a novel, become best selling, im about get paid then...

13. Do you have a big questionn in your mind?

 I do....
why heaven always described by mountain, trees, river, flower and other crature not by high building, cars, or caffee...



Selasa, 15 Februari 2011

Visitor Counter adalah code sebuah widget blog yang menghitung secara otomatis jumlah pengunjung yang telah masuk ke blog kamu. Ada dua situs yang menyediakan layanan tersebut. Situs2 tersebut adalah amazingcounter dan statcounter
kali ini saya akan menjelaskan cara mengambil kode html dari amazingcounter

1. bukalah amazingcounter
2. Pada bagian bawah pilih create your free web counter now
3. Pililah model counter yang kamu suka
4. Pada bagian bawah klik tanda panah yang memberi petunjuk untuk lanjut ke "step 2"
5. Isi data2 yang diminta
6. klik button create new acount.
7. Copy kode html dalam kotak
8. Buka dashboard pada blog==> page element ===> add a gadget===> html/javascript
9. Paste code html tadi di jendela html/javascript
10. jangan lupa disave lalu lihat blog kamu
cantikkkk kan? LOL

;;

Template by:
Free Blog Templates